A. Pendahuluan
Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemutus perkara
dan pelerai pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri. Beliau sebagai
referensi tertinggi untuk meminta fatwa dan keputusan.[1]
Keputusan beliau itu didasarkan atas wahyu atau sunnah, termasuk
musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapat
dengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.
Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22
tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat jibril baik sewaktu
beliau masih berada di makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga
halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu.[2] Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan tuhan tidak mungkin diganti, tapi
tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus
dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan
tentang bagaimana cara pemutus dan pelerai perkara dilaksanakan, dan siapakan
yang mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara tersebut.
B. Pembahasan
1. Pemutus Perkara setelah Wafatnya Nabi
Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat
dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah
dari kalangan sahabat nabi sendiri.[3]
Khalifah adalah suatu kata yang “dipinjam” dari alquran Surat Al-Baqarah
ayat 30.
Artinya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)[4]
Oleh karena itu, maka sebagai seorang pengganti nabi, ummat islam secara
otomatis menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang
terjadi di masyarakat. Selain itu, para shahabat yang terkenal dengan kedalaman
ilmunya juga menjadi pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal
Abdullah ibnu abbas, zaid bin tsabit, Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah
ibnumas’ud di kuffah., Abdullah ibn amr ibn ash di mesir. Aisyah dan zadhi yang
mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal.[5]
Mereka terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami
dan pengembangannya.
2. Metode Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini sumber tasyri’ islam adalah alquran dan sunnah rasul.
Keduanya disebut nash atau naql. Apabila ada masalah yang tidak jelas di
dalam nash, para sahabat zamn khulafaurrasyidin memakai ijtihad untuk memperolah
hukum yang dicari. Jalan dalam ijtihadnya adalah berpegang pada ma’quul-annash
dan mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian
menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya dengan illah yang
dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash.[6]
Dalam hal lain para sahabat bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada
nashnya, kemudian mereka sepakat dalam hukum yang mereka temukan dalam suatu
masalah itu, yang kemudian dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah
menyebutkan bahwa dari praktek khlafaurrasyidin itu terdapat perluasan dasar
tasyri’ islam disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga alqiyaash dan al
ijmaa’
Sumber hukum islam yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin adalah :
1. Alquran
2. Sunnah Nabi
3. Ijtihad shahabat (ijma’ dan qiyash)[7]
a. Alquran dan Sunnah
Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus
dipecahkan. Padahal, para sahabat tidak bisa lagi menanyakan
penyelesaian masalah pada nabi karena nabi telah wafat. Sehingga, mereka
sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Keharusan untuk
menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat islam untuk menyelidiki
Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu berpegang pada :
- Alquran, karena dialah asas dan
tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan terang karena
Alquran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka
mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain
Arab telah masuk di kalangan mereka.
b. Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah
nabi kapan saja mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya.[8]
Hal ini didasarkan pada hadist
تركت
فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya :
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada
keduanya, niscaya tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya.“[9]
b. Ijtihad Shahabat
Namun ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya
dalam Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan
karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan
islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin,
kekuasaan islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi:
Mesir, Syiria, Persia dan Irak.[10] Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak
kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini
mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan
dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil
yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas
adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal
lain dan lain sebagainya.[11]
Ijtihad ada dua:
- Mengambil hukum dari
dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu.
- Mengambil hukum dari ma’qul nash
karena nash itu mengandung illat yang menerangkannya, atau illat itu dapat
diketahui dan tempat kejadiannya yang di dalamnya mengandung illat,
sedang nash tidak memuat hukum itu.
Sebab-sebab adanya ijtihad :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu
yaitu tentang pemahaman dalil-dalil
Dalil-dalil itu terbagi menjadi dua macam
- Dalil yang bersifat Qath’i (
pasti dan jelas)
- Dalil yang bersifat dhanni
(perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan
hukumnya. Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan
berbagai macam penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang
bersifat dhanni ini terdapat ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil
yang bersifat dzonni inilah para ulama membuat istilah ijtihad dan qiyas,
dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang terdapat pada dalil-dalil
dzanni tersebut.
c. Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam
melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum
suatu masalah. Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma’[12]Kemudian
rasulullah telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih
dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala ijtihadnya baik salah maupun benar.
Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika
ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya, maka ia
mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram,
yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata :
apabila suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah.
Apabila di temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di
antar mereka, maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm
kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan
dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada
kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku…lalu apakah kalian mengetahui
bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang semua
golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak di
temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan
orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya,
maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.[13]
Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah
sebagai berikut [14]:
a. Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan
berdasarkan ketetapan yang ada dalam Alquran.
b. Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan
hukum dalam Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada
sunnah.
- Apabila tidak menemukannya dalam
Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah rasulullah telah memutuskan
persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia memutuskan
persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah
memenuhi beberapa syarat.
- Jika tidak ada sahabat yang
memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan
bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada
kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai
keputusan. [15]
D. Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih
dahulu menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak
menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah
para sahabat menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam.
Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi
Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas
posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak
dapat menjadi imam karena sakit.[16] Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih.
Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang
dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk
mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana
didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak
sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi
analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.[17]
3. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa
Khulafaur Rasyidin
a. akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’
1. Luasnya wilayah islam masa khulafaurrasyidin
Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi
semenanjung Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan
non arab sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan
hukum yang rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh karena
itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, cara menetapkan hukum di
pengadilan dan budaya hukum di damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand,
Andalusia.[18]
2. Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat yang
hafal alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad. [19]
- Sahabat mengkhawatirkan
terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap alquran akan seperti ikhtilaf
Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.[20]
- Sahabat takut akan terjadi
pembohongan terhadap sunnah Rasulullah SAW.[21]
- Sahabat khawatir umat Islam akan
menyimpang dari hukum Islam.
- Sahabat menghadapi perkembangan
kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat kerena islam petunjuk bagi
mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Alquran dan sunnah.
b. pendapat sahabat dalam pengistimbatan tasyri’
Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka
tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira
bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin.[22] Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka
berpendapat bahwa
1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi
adalah sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta
menyia-nyiakan waktu yang berharga.
2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain
untuk berfatwa karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi
perluasan fatwa terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid
bin Tsabit bahwasanya apabila ia apabila dimintai fatwa dalam masalah
yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya,
namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai kasusnya
terjadi.“[23]
3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang
mengeluarkan fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para
pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum
muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka sibuk
sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.[24]
Para ulama shahabat mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran
riwayat diantaranya;
- Para sahabat, termasuk sahabat
Abu Bakar tidak menerima hadist yang tidak disaksikan lebih dari
satu orang.
- Para sahabat tidak membukukan
hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan perawi-perawinya.
- Para sahabat tidak membukukan
hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi seterusnya
kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.[25]
c. pengaruh pengambilan hukum masa khulafaur rasyidin terhadap
perkembangan tasyri’ islam
- Fatwa-fatwa yang diungkapkan para
sahabat pada zaman khulafaur rasyidin mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan hukum islam.[26] Banyak para
ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar.
- Sahabat melakukan penelaahan
terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak
didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad
dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul
karena adanya peristiwa yang terjadi.[27] Dengan
dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer
umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian
mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi
ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum
islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.
- Sahabat telah menentukan thuruq
al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath
tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus yang dihadapi.[28] Sehingga
generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat besar dalam
menyelesaikan suatu perkara.
d. terjadinya perbedaan pendapat
1. Sebab-sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat
Ikhtilaf zaman sahabat disebabkan oleh tiga hal[29]
1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alquran.
a.. Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda
(isytira’). Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228,
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)[30]
Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali
quru’,“ membuat para sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata
quru’ mengandung dua arti yakni Al-haidl dan at-thuhr.[31]
Adanya dua makna ini membuat terjadinya perbedaan pendapat. Umar ibn Khattab
memilih makna al-haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sahabat Zaid bin
Tsabit menggunakan makna At-tuhr.
- Hukum yang ditentukan Alquran
masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan
bergabungnya dua sebab pada satu kasus.[32] Misalnya
pada alquran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita
yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari.
Artinya:
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah: 234)[33]
Dan iddah wanita yang hamil adalah sampai melahirkan disebutkan dalam
alquran adalah tiga bulan.[34]
Sebagaimana firman Allah:
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Q.S.
At-Thalaq: 4)[35]
Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang
wanita yang hamil ditinggal mati oleh suaminya. Apakah yang berlaku baginya
iddah hamil atau iddah wafat? Hal inilah yang membuat terjadinya
perbedaan pendapat diantara sahabat. Ada yang beranggapan bahwa hukum wanita
haidh yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari seperti shahabat
Umar. Ada yang beranggapan menggunakan iddah hamil karena ayat iddah hamil
turun setelah iddah mati seperti kata ibnu mas’ud. Tapi sahabat Ali dan Banu
Abbas menggunakan iddah terpanjang diantara dua iddah tersebut.
- Perbedaan pendapat yang
disebabkan oleh sifat Sunnah[36]
- tidak semua sahabat memiliki
penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaan
sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena
perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif dan ada yang tidak,
ada yang paling awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir.
- Kadang-kadang riwayat telah
sampai pada seorang sahabat tetapi tidak atau belum sampai pada
sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa
ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la shaum lah). kemudian pendapat ini
didengar oleh aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah menjadikan peristiwa
dengan nabi sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali
pendapatnya.
- Sahabat berbeda pendapat dalam
penakwilan Sunnah. Umpamanya, thawaf. Sebagian besar sahabat berpendapat
bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat
bersegera dalam thawaf tidak sunnah.
- Perbedaan struktur masyarakat dan
perubahan zaman menimbulkan perbedaan dalam menetapkan sesuatu pendapat.[37]
- Perbedaan pendapat dalam
menggunakan wahyu
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh
penggunaan ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang
permepuan yang menikah dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang
wanita menikah dalam masa iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu
wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib menyelesaikan waktu tunggunya. Apabila
sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu.
Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya.
Sedangkan menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan waktu
tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang
pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.[38]
b. perkara-perkara yang menjadi ikhtilaf shahabat
Perbedaan pendapat itu antara lain :
- Pada masa Umar ada seorang istri
yang dicerai, dan berada dalam masa iddah, dinikahkan (hal ini dinash
dalam Alquran). Maka umar memukul si suami dengan alat pemukul beberapa
kali dan ia menceraikan kedua suami istri itu seraya berkata, “ perempuan
manapun yang dinikahkan pada masa iddahnya, jika suami ayng
memperistrikannya belum bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikannya
dan permepuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama.
Kemudian, laki-laki itu melamar seperti pelamar-pelamar lain. Jika suami
itu telah bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikan kemudian perempuan
itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami kedua, kemudian suami itu
tidak boleh mengawininya untuk selama-lamanya”. Ali berkata : “jika istri
telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jika mau
boleh memperistrikannya.[39]
Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang
kedua setelah ia bersetubuh dengan perempuan yang sedang beriddah. Tidak ada
nash-nash Alquran yang menguatkan salah satu dari keduanya. Dalam hal ini Umar
mengambil kaidah penengahan dan pengajaran sedang ali mengambil pokok-pokok
umum.
- Ustman bin Affan dan Zaid bin
Tsabit berfatwa bahwa wanita wanita merdeka yang menjadi isteri hamba,
maka wanita itu haram hukumnya dengan dua thalaq. Ali menyelisihinya
dengan berkata, ”wanita itu hanya haram dengan tiga thalaq. Adapun amat
(budak perempuan yang menjadi istri laki-laki merdeka, maka amat itu
haram dengan dua thalaq. Para mufti itu sepakat atas separoh
hak-hak hamba, namun mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu
dipandandang dari suami ataukah dari istri. Usman dan Zaid berpendapat
bahwa perceraian itu dipandangdari suami, karena suamilah yang menjatuhkan
thalaq. Sedang Ali berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari istri.
Karena istrilah yang kena thalaq.[40]
- Abdurrahman mencerai istrinya
dimana ia sedang sakit. Maka Utsman memberi warisan kepada wanita itu dari
Abdurrahman bin Auf setelah habis iddahnya. Diriwayatkan bahwa syuraih
menulis kepada umar bin Khattab tentang seorang laki-laki yang menceraikan
istrinya tiga kali sedanga laki-laki itu dalam keadaan sakit, maka Umar
menjawab bahwa wanita itu mewarisinya selagi dalm masa iddahnya. Jika
wanita itu habis masa iddahnya maka ia tidak mendapat warisan. Keduanya
sepakat bahwa perceraian dari orang sakit tidak menghilangkan perkawinan
dengan sifatnya sebagai sebab yang mewajibkan warisan. Terhadap hal ini,
Umar memberi batasan yaitu iddah dan Utsman tidak membuat batas. Dalam
masalah ini tidak ada nash untuk menjadi tempat merujuk agar terdapat
penyelesaian masalah.[41]
- Umar bin Khattab berkata
bahwa orang hamil yang ditingal mati, maka iddahnya adalah melahirkan
kandungannya. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh-jauh dua masa
itu, yaitu sejauh-jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari.
Sebab perbedaan pendapat itu karena Allah menjadikan iddah wanita hamil
yang diceraikan adalah melahirkan kandungan. Dan Allah menjadikan iddah
wanita yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari tanpa
perincian. Ali dalam fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati
berlandaskan dua ayat itu seluruhnya. Sedang Umar menjadikan ayat thalaq
itu sebagai hukum ayat fatwa yakni secara khusus. Dalam hal ini mereka
melihat suatu haidst bahwasanya Sabi’an binti Harits Al Aslamiyah suaminya
meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya setelah dua bulan 10 hari
dari kematian suaminya. Maka nabi memberikan fatwa dengan habisnya iddah. [42]
- Muslim dan Ahmad meriwayatkan
dari Ibnu Abbas berkata: “keadaan thalaq pada masa rasulullah, Abu bakar
dan dua tahun pada masa kekuasaan Umar, thalaq tiga itu adalah satu. Umar
berkata: “ Sesungguhnya manusia telah tergesa-gesa dalam perkara yang di
dalamnya terdapat keperlahanan. Seandainya hal itu kami biarkan berjalan
atas mereka niscaya hal itu akan berjalan terus. Dan shahabat tidak
sepakat atas hal itu bahkan diriwayatkan perselisihannya dari Ali dan Abu
Musa. Umar melakukannya seolah-olah siksaan dan orang-orang yang
menyelisihinya berpegang pada dzahir-dzahir nash.[43]
- Ibnu Mas’ud dan yang lain
memberikan fatwa bahwa suami apabila ila’ terhadap istrinya telah lewat
empat bulan dan tidak kembali maka istri itu telah lewat empat bulan dan
tidak kembali. Maka istri itu telah terthalaq ba’in dan suaminya merupakan
salah satu peminang. Dan orang lain berfatwa bahwa apabila masa empat
bulan itu telah lewat maka suami itu diberi tangguh. Adakalanya akan
kembali dan adakalanya akan menceraikan. Berlakunya empat bulan itu tidak
menjadikan thalaq. [44]
- Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin
Khattab menyetujuinya bahwa wanita yang dicerai keluar dari iddahnya
kecuali apabila ia telah mandi dari haidlnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit
berfatwa, bahwa wanita itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam
haidh yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan adalah perbedaan mereka
dalam quru’, apakah quru’ itu berarti suci sebagaimana
dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain, apakah quru’ itu
haidh sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud.
- Umar bin Khattab berfatwa, bahwa
apabila wanita itu masih berhaidh (namun tidak sedang haidh), dicerai, dan
haidhnya hilang, maka wanita itu menanti sembilan bulan. Jika ternyata ia
mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah tiga bulan
sesudah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa wanita itu menanti
hingga tidak berhaidh lagi, maka wanita itu beriddah dengan beberapa
bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma’na iddah yaitu benar-benar bersih
dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan
lagi. Maka wanita itu beriddah dengan beberapa bulan.
- Umar bin Khattab berfatwa bahwa
wanita yang cerai putus (thalaq bain) itu mendapat nafkah dan
tempat tinggal. Ketika sampai kepada Umar sebuah hadist dari
Fathimah binti Qays bahwasanya rasulullah tidak memberi nafkah dan juga
tempat tinggal setelah thalaq ba’in, maka Umar berkata, ”Sesungguhnya
kita tidak meninggalkan kitab Allah dan sunnah Nabi kita karena perkataan
seorang perempuan yang baeangkali ia hafal atau lupa.” Dan orang lain
berfatwa bahwa wanita yang berthalaq tiga tetapi tidak hamil, maka ia
tidak mendapat nafkah karena berdasarkan hadist Fathimah binti Qays.[45]
- Abu Bakar tidak memberikan
warisan kepada saudara-saudara bersama kakek. Adapun Umar memberikan
bagian saudara-saudara bersama kakek. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai
ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar
tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin tsabit sependapat dengan ini. [46]
- Malik meriwayatkan dalam Muwatha’
berkata seorang nenek datang kepada Abu Bakar minta bagian warisnya. Abu
Bakar berkata: “Kami menurut kitabullah tidak mendapat bagian sedikitpun,
dan begitu juga dalam sunnah Rasulullah SAW. Maka pulanglah kamu sehingga
saya tanya kepada manusia.” Kemudian Abu bakar berkata kepada audiens, Al
Mughiroh bin Syu’bah berkata : “Seorang wanita datang kepada Rasulullah
dan beliau memberinya seperenam.” Abu Bakar berkata, ”Apakah ada orang
lain bersamamu?” Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, “seperti
itulah.” Maka Abu bakar melaksanakannya (meneruskannya) kepada nenek
tersebut. Seorang nenek lain datang kepada Umar bin Khattab untuk meminta
perihal warisannya. Maka Umar berkata, “Menurut kitabullah kamu tidak
medapat sedikitpun.” [47]
- Malik meriwayatkan dalam Muwatha’
bahwa Dhaha’ bin Khalifah membuat saluran air hingga sampai sungai
kecil, ia berkehendak untuk melewati tanah Muhammad bin Maslamah, namun
Muhammad bin Maslamah enggan. Kenapakah kamu mencegahku sedangkan
hal itu bermanfaat bagimu, kamu meminum darinya, baik pada permulaan dan
akhirnya serta tiadk membahayakanmu? Ia tetap enggan, maka Ad-dhahak
membicarakan kepada Umar bin Khattab, lalu umar bin Khattab memanggil
Muhammad bin Maslamah, lantas menyuruhnya untuk melepaskan maksudnya,
tetapi ia tetap enggan. Umar berkata, ”Kenapa kamu menolak saudaramu
terhadap sesuatu yang bermanfaat baginya dan berguna bagimu, kamu minum
dengannya pada awal dan akhir, lagipula tidak membahayaka kamu?” Muhammad
bin Maslamah berkata, “Tidak demi Allah.” Umar berkata, ”Demi Allah agar
ia lewat walaupun lewat diatas perutmu.” Maka Umar menyuruh Dhahak untuk
menjalankan perahunya.
- Malik meriwayatkan dari Ibnu
Syihab bahwa onta-onta yang tersesat pada zaman Umar r.a. dilepaskan
dengan berkembang biak dan tidak disentuh oleh seorangpun hingga ketika
masa Utsman bin Affan ia memerintahkan untuk mengetahuinya, memberitakannya
kemudian onta itu dijual. Apabila pemiliknya datang maka ia diberi
harganya. [48]
4. Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur
Rasyidin
a. masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu Bakar adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan
dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632
sampai 634 M. sebelum masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan
disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan
seruannya banyak orang-orang terkemuka yang memeluk agama islam dan kemudian
terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan kerena hubungannya
yang ssangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam
tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa
pertama tepat sekali.
a. Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:
a. Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi:
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku
bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan
sesuatu yang benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan
kesalahan, perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah
amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau berkata,
“Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian
berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan
kalian.”[49]
Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum
ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat
dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara
pemerintah dan warga negara.
b. Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di
masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu
dalam wakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah
nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sahabat
nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini melakukan ijtihad lalu
timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu.[50]
Dalam masa abu bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’
sahabat.
c. Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan
ayat-ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat
seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu
naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris
nabi Muhammad.[51] Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Alquran itu
diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal Alquran yang
selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia,
naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan sesudah Khalifah Umar meninggal
pula, naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafshah, janda nabi
Muhammad.
b. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi
khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas
antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria.[52] Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan Umarlah yang
pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan
perkantoran, serta kalender penanggalan.
Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad
antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat
untuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya
yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang
kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan zakat kepada
almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang
terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang kemudian dianamai
dengan al-ihtihsaan dll. [53]
Selain itu yang perlu dicatat dari Umar adalah sikap tolerannya terhadap
pemeluk agama lain. Hal itu terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid
(yang sekarang terkenal dengan masjid Umar) di Jerussalem. Karena di tempat itu
telah berdiri suatu tempat ibadah umat Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan
masjid tersebut, Umar turun terlebih dahulu, memberitahukan maksudnya dan
memohon kepada pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu.
Padahal sebagai seorang khalifah atas seluruh daerah tersebut, Umar tidak wajib
melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang
toleran terhadap pemeluk agama lain.
Karena usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar
lama memegang pemerintahan. Sikapnya keras dan sebagaimana biasanya orang yang
mempunyai sikap keras, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum.
Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan
nyata pada suatu saat tertentu. Ia mengikuti Abu Bakar dalam menemukan hukum.
Namun demikian, Khalifah Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam
menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Alquran untuk mengatasi sesuatu
masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan
umum.
a. Tindakan-tindakan Khalifah Umar ;
a. Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria,
Irak, danPersiaserta ke Mesir.
b. Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal
berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun
Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah
lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun
sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan
bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu.
c. Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah
malam yang dilakukan sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan.[54]
Tindakan Umar dalam bidang hukum, ada beberapa contoh ijtihad
Umar antara lain sebagai berikut :
a. Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu
ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami
istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu
dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdqsarkan kepentingan
wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga
sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita
lain. Tujuannya dalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan
hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar
pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak
tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh
sebagai) talak satu.[55]
Umar menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak
menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.
b. Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam)
seperti yang ditetapkan dalam Alquran.[56] Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin)
terputus hubungan dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah,
golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat
kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu
diberi keistimewaan.
c. Menurut alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang
hukuman potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi
kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat
ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam
alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan
(jiwa) masyarakat.
d. Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang
memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan
Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam
dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam dan
keamanan Negara.[57]
Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan
ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun,
kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam
keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan
dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai peradilan;
yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari.[58]
Isinya antara lain ;
a. Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu
perkara;
b. Hakim mempelajari dahulu berkas perkara itu sebaik-baiknya.
Setelah jelas duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
c. keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak
diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua
pihak yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang
yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan
sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
d. Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang
bersengketa
e. Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal.
f. Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu
mengubah keputusan tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;
g. Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari
Alquran dan sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.
h. Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih
sesuai serta mendekati kebenaran.
c. Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan
Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga
menggantikan Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun
644 sampai 655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang
yang mempunyai kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang
di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan kemewahan. Hal
ini dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah.
Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh
familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang
sekarang disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan
sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.[59]
a. Tindakan-tindakan Khalifah Utsman:
1. Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menjalin kembali
naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang
ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf), kemudian dikirim ke
ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di
masjid besarnya masing-masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran
pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah
disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30
H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai
kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam.[60]
Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita
liat sekarang ini.
Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia sekarang menunjukkan
bahwa diantara kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak dapat
dibuktikan telah pernah dipasulkan oleh tangan manusia. Ia tetap asli seperti
waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun baik dalam surah maupun
dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.
b. Menyalin dan membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi
Alquran.[61] Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah
Islam sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak
sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan
ucapan tentang ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan
cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.
c. Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan
Konstantinopel.[62]
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662
M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu,
hubungannya rapat sekali dengan nabi. Ali adalah keponakan dan menantu
Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika nabi
Muhammas masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh nabi menggantikan beliau
menyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan
bahwa hubungan nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan Harun.
Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu
pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu
banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada
yang lainnya. Yang berpendapat demikian terkenal dengan golongan syi’ah. Ali
terkenal dengan kemahirannya sebagai qadli, sejak zaman Nabi.
Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk mengembangkan
hukum islam.[63] Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul
bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada
perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini,
antara lain :
- Kelompok Ahlussunnah waljamaah
(suni), yaitu kelompok atau jamaah yang berpegang teguh pada sunnah nabi
Muhammad;
- Kelompok syiah yaitu pengikut ali
bin Abi Thalib.
Dasar perpecahan adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni
siapa saja yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan
ibadah, system hukum dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat di
Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia,
tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.[64]
D. PENUTUP
Setelah nabi wafat, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh sahabat,
utamanya khulafaur rsyidin juga dengan sahabat-sahabat besar yang lain seperti
Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud dll. Pada masa khulafaur Rasyidin, terjadi berbagai
permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga,
timbullah penafsiran nash-nash ayat dan terbukalah pintu istinbath terhadap
masalah-masalah yang tidak ada nash yang jelas. Ketika mengambilan keputusan,
khulafaur rasyidin dan para shahabat tetap berpegang pada Alquran dan Sunnah
namun jika penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka shahabat
melakukan ijtihad berupa ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila
tidak ada penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.
Pengambilan keputusan pada masa khulafaur Rasyidin ini menjadi rujukan
bagi ulama’-ulama’ mutaakhirin dan menjadi dasar pijakan bagi generasi
setelahnya dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah syari’at. Akan
tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada zaman khulafaurrasyidin tersebut amat
terbatas. Dikarenakan sahabat lebih memilih untuk tidak membicarakan
pengambilan keputusan jika tidak ada terjadi masalah. Para sahabat juga
tidak membukukan fatwa mereka sehingga menyulitkan generasi setelahnya untuk
mendapatkan pendapat para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya. Cet
VII,Bandung: Diponegoro.
Ash Shiddeay,Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet IX,Yogyakarta:
Bulan Bintang.
Bik, Hudhori. Tanpa Tahun. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.Surabaya:
Al-Hidayah.
Bik,Hudhori. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri.
Cet IV,Semarang:Darul Hidayah.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II,
Bandung: Malja.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet.II,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar
Grafika.
Wahab, Abdul hallaf. 2005. Sejarah Hukum Islam. Cet I, Bandung:
Maljah.
Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di
Indonesia. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Cet II, Semarang:
Darul Ikhya.